KHAYALAN saya hari ini cukup fantastik. Mengendarai sebuah mesin pelintas waktu. Mencoba untuk menembus sekat masa lalu. Melihat kembali siapa sebenarnya saya dulu, saat masih mengenakan seragam merah putih. Saat untuk pertama kali merasakan indahnya jatuh cinta. Ketika hati ini dag dig dug menemukan cinta pertama. Pada sosok yang sangat mempesona di mata saya saat itu. Yang tak lain adalah guru saya!
NAMANYA saja anak-anak, tentu bukan cinta dalam arti sesungguhnya. Mungkin saat itu saya hanya sedang kasmaran semata. Buah dari perkembangan usia menuju kedewasaan. Atau mungkin karena beliau memang tampak menonjol dari yang lain.
Apa yang saya ingat dari sosok guru itu adalah, beliau memang guru tercantik di sekolah kami. Saya dan teman-teman bulat menyepakatinya. Sayangnya, cara mengajar beliau tidak semenarik penampilannya. Jadi, menurut perhitungan kami saat itu, beliau tidak masuk dalam kriteria guru favorit.
Memang, saat ini sosoknya sudah terlupakan sama sekali. Bahkan mungkin juga jika bertemu, saya sudah sama sekali tidak mengenalnya. Bagi saya sekarang, cerita itu hanyalah kenangan masa kecil yang konyol sekaligus menggelikan.
Namun sesungguhnya, kenangan paling berkesan selama masa sekolah dasar dulu ada pada sosok guru lain. Beliau mengajar matematika. Dari penampilannya, beliau jauh dari kesan menarik. Bagi yang tidak mengenal, pasti akan menyimpulkan bahwa beliau galak, garang dan menakutkan. Raut wajahnya memang tidak mengesankan keramahan. Tapi bagi kami, murid-muridnya, beliau adalah yang terbaik. Bahkan sangat baik sekali, jika dibandingkan dengan guru cantik tadi.
Rumahnya persis di belakang sekolah. Sederhana tapi sangat asri. Saat istirahat tiba, jika tak punya uang jajan, saya dan teman-teman sering mampir ke rumah beliau untuk sekadar minta segelas air putih. Kadang kami berebutan naik pohon jambu di depan rumahnya, saat musimnya tiba. Tak pernah sekalipun beliau merasa keberatan. Apalagi minta bayaran he he ….
Saat mengajar beliau bertindak sangat tegas. Meskipun begitu, beliau jarang sekali marah. Dalam ingatan saya, pernah sekali beliau marah. Saking jarangnya melihat beliau marah, saat itu kami sangat ketakutan. Bahkan ada seorang teman yang menangis karenanya. Penyebabnya karena tidak satu pun diantara kami yang berusaha bertanya, meski juga tak paham atas apa yang dijelaskannya. Atau mungkin juga ada penyebab lain yang saat itu tidak bisa kami pahami.
Sekarang saya tidak tahu dimana keberadaan beliau. Rumah yang sering saya dan teman-teman singgahi saat jam istirahat, sudah rata dengan tanah. Konon karena terkena proyek pembangunan stadion megah di kota kami. Semoga beliau mendapat ganti yang lebih baik.
Saat sekarang merenung kembali kenangan lebih dari lima belas tahun lalu itu, ingin rasanya bertemu lagi. Paling tidak, sekadar untuk meminta nasihat agar bisa menjadi sosok yang begitu dicintai muridnya seperti beliau.
Pernah suatu ketika, saya bertanya langsung kepada siswa di depan kelas, tentang sosok guru seperti apa yang paling tidak disukai siswa. Jawaban yang saya dapatkan sungguh beragam. Awalnya mereka malu-malu untuk menjawabnya. Dan memang perlu sedikit pancingan agar mereka bisa berani berterus terang. Akhirnya, meski kadang muncul kalimat yang tidak nyambung, tapi beberapa kesimpulan saya dapatkan saat itu.
Setidaknya beberapa kriteria inilah yang saya dapatkan. Saya rangkum sendiri namun dengan mencoba tetap mempertahankan bahasa mereka sendiri. Ternyata siswa tidak suka pada seorang guru yang : Baca lebih lanjut