Menjadi Guru yang “Profesional”

1

Sontak suasana menjadi hening, saat Sumarna Surapranata, Ph.D, Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemendikbud RI, menyampaikan bahwa hingga saat ini, sebagian besar guru masih “dibohongi”. Sebagai salah satu profesi yang harus dijalankan secara profesional, sejujurnya guru hingga saat ini masih juga belum bisa independen.

Sumarna menjelaskan hal tersebut saat menjadi keynote speaker pada acara seminar nasional guru pendidikan dasar berprestasi, yang diselenggarakan di Swiss-Belhotel Mangga Besar, Jakarta, pada Rabu, 10 Mei 2017. Seminar yang digagas oleh Kemendikbud RI ini, dihadiri oleh 260 peserta guru berprestasi yang berasal dari seluruh Indonesia.

Mengomentari tema seminar yaitu membangun profesionalitas guru pendidikan dasar dalam era globalisasi, Sumarna menjelaskan setidaknya ada tiga hal yang perlu menjadi perhatian guru untuk menjadi profesional. Pertama, saat ini guru selalu “dibohongi” dan menjadi kurang independen dalam bekerja. Sebagai sebuah profesi, guru hanya berhak dinilai kinerjanya oleh seseorang yang juga berprofesi guru. Bahkan bukan hanya itu, sang guru penilai juga seharusnya memiliki kompetensi mengajar sama dengan guru yang sedang dinilai kinerja olehnya.

4

Penilaian kinerja seorang guru juga seharusnya dilakukan secara profesional. Kualitas seorang guru fisika misalnya, tentu hanya tepat apabila dilakukan oleh seorang guru yang juga mengampu pelajaran fisika. Akan menjadi sangat dilema, apabila justru kinerjanya dinilai oleh seseorang yang bukan guru. Bahkan meski seorang dosen yang merupakan profesor sekali pun. Karena, dosen bukanlah seorang guru. Meskipun seorang guru besar adalah seorang dosen.

Kedua, untuk menjadi profesional, guru juga harus memiliki jiwa korsa. Guru harus memiliki ikatan batin antara sesama guru. Memiliki rasa senasib dan seperjuangan. Pemupukan jiwa korsa bisa dilakukan melalui MGMP (Musyawarah Guru Mata pelajaran) untuk tingat Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau KKG (Kelompok Kerja Guru) untuk tingkat sekolah dasar (SD). Untuk itu, Sumarna menghimbau guru untuk tidak terlibat dalam politik praktis.

3

Ketiga, guru harus memiliki rasa tanggung jawab sosial. Untuk memberikan gambaran maksudnya, Sumarna melakukan perbandingan antara profesi guru dan dokter. Dokter apabila melakukan kesalahan diagnosa, maka pihak yang akan merugi hanyalah pasien tersebut. Namun, apabila seorang guru salah dalam mendidik dan mengajar, maka bukan hanya satu kelas yang merugi. Efeknya bisa domino hingga satu generasi.

Di sisi lain, saat seorang dokter melakukan tindakan medis, maka setidaknya tindakannya telah menyelamatkan satu nyawa. Namun apabila seorang guru melakukan pengajaran dan pendidikan, setidaknya tindakannya tersebut telah menyelamatkan satu atau dua desa. Bahkan jangkauannya akan lebih meluas lagi apabila diukur pada jangka panjangnya.

Sebagai sarana untuk menciptakan profesionalitas, maka seorang guru juga harus berpikir secara global. Maksudnya, tidak terpaku pada sebagaimana yang tertulis dalam buku paket pelajaran. Guru harus mulai terbiasa dengan teknologi, khususnya internet. Dengan internet, guru bisa selalu meng-update kemampuan dan pengetahuannya melalui situs pencarian google.com.

2

Seorang guru yang profesional di era global seharusnya tidak perlu gagap dalam teknologi. Ikut memanfaatkan secara positif berkembangan teknologi, khususnya yang berkaitan dengan internet. Situs google dan sosial media online, seperti facebook, twitter, instagram dan lain-lain pada dasarnya bisa digunakan guru dan bahkan siswa untuk selalu meningkatkan pengetahuannya. Sehingga pada dasarnya siswa “seharusnya” saat ini sudah diizinkan untuk membawa handphone tersambung online. Catatannya, asal handphone yang digunakan di kelas oleh siswa untuk menjadi salah satu sumber belajar dan tidak digunakan aktivitas negatif.

Lebih lanjut Sumarna menjelaskan, saat ini guru-guru di Indonesia sudah semakin baik dan profesional. Penilaian ini setidaknya apabila menganalisa dari hasil perolehan nilai Ujian Kompetensi Guru (UKG) yang telah dilaksakan sejak tiga tahun lalu. Berdasarkan data yang dihimpun, tahun 2014 saat UKG pertama kali digelar dengan sistem online, nilai rata-rata kemampuan guru berada di angka 48 dari nilai maksimal 100. Tahun berikutnya 2015, nilai rata-rata UKG menjadi 58. Di tahun 2016, tercatat kenaikan nilai UKG menjadi 66. Tahun 2017 ini, target perolehan nilai rata-rata UKG diharapkan lebih dari 70. Dan kenaikan target nilai rata-rata kemampuan guru tersebut diharapkan bisa mengarahkan guru untuk semakin profesional.

Dengan gaya khasnya yang selalu menyelipkan humor, Sumarna menutup presentasinya mengajak peserta seminar untuk selalu marasa bangga menjadi guru. Seminar yang berlangsung sejak tanggal 9 – 12 Mei 2017 tersebut memang lain dari yang lain. Peserta yang terpanggil untuk mengikuti seminar, adalah hasil seleksi dari 1300 guru yang mendaftar secara online. Pada saat mendaftar, peserta mengirimkan abstrak makalah sesuai dengan tema yang dipilih. Terdapat delapan tema yang bisa dipilih calon peserta, yaitu :

  1. Pembinaan dan peningkatan karier guru,
  2. Pengembangan kompetensi guru,
  3. Penguatan pendidikan karakter,
  4. Peran guru dalam pembinaan prestasi belajar siswa,
  5. Kemitraan sekolah,
  6. Penghargaan dan perlindungan guru,
  7. Tantangan dan harapan guru dalam peningkatan mutu pendidikan,
  8. Pengembangan berpikir kritis, kreatif, kolaboratif dan komunikatif siswa.

Semua abstrak makalah dari calon peserta yang masuk, selanjutnya dinilai tim penilai yang terdiri dari empat orang guru besar, yakni Prof. Dr. Siti Masitoh, M.Pd dari Universitas Negeri Surabaya, Prof. Dr. Harsono, M.S dari Universitas Muhammadiyah Surakarta, Prof. Dr. Agus Suyatna, M.Pd dari Universitas Lampung dan Prof. Dr. Suhardi, M.Pd dari Universitas Negeri Yogyakarta.

Dra. Poppy Dewi Puspitawati, M. A, Direktur Pembinaan Guru Pendidikin Dasar, Kemendikbud RI, sebagai nara sumber eselon menjelaskan saat pembukaan, bahwa seluruh peserta adalah guru-guru berprestasi yang berhasil melewati berbagai seleksi. Setelah melewati seleksi abstrak, peserta diminta untuk mengirimkan makalah sesuai dengan tema yang dipilih. Tahapan selanjutnya, terpilih 100 guru peserta yang juga mempresentasikan makalahnya melalui media power point, 50 guru peserta yang mempresentasikan makalahnya dalam melalui media poster, dan 110 guru peserta murni.

Seminar nasional yang baru diselenggarakan untuk pertama kalinya oleh Kesharlindung Direktorat Pembinaan Guru Pendidikan Dikdas, Kemendikbud yang digawangi oleh Drs. A. Hendra Sudjana, M.Ed ini, juga diselingi dengan lounching jurnal DIDAKTIKA edisi pertama yang berisi hasil penelitian dari guru-guru berprestasi pada tahun 2016. Harapan dari seminar ini adalah terhimpunnya karya tulis ilmiah guru pendidikan dasar dalam bentuk prosiding, tersajikannya karya tulis ilmiah terpilih yang dipresentasikan dan diposterkan serta terdesiminasikannya karya tulis ilmiah.

Selain memotivasi guru dalam berkarier dan menulis karya ilmiah, seminar ini telah menjembatani guru untuk mendiseminasikan gagasan dan hasil penelitiannya yang pada akhirnya bisa digunakan untuk mendapatkan angka kredit.

5Saya, sebagai salah satu peserta yang mendapat tugas presentasi melalui poster dari Kabupaten Purbalingga, sangat senang dan terharu karena mendapatan kesempatan baik ini. Mengunjungi ibu kota dalam rangka kegiatan yang sangat spesial serta dukungan biaya dari pemerintah adalah kebanggaan. Semoga tahun depan masih bisa berkontribusi melalui karya yang lebih baik. Guru mulia karena karya 🙂

Tinggalkan komentar