MENANGKAL HOAX DENGAN JURUS METILMIAH

Anti Hoax Sang Pendidik

Oleh : Febri Prasetyo Adi, S.Pd.I  (SMP N 3 Mrebet, Purbalingga)

Akhir Maret 2017 lalu, menjadi sore yang tragis bagi Maman Budiman. Warga Kota Pontianak itu meninggal karena aksi pengeroyokan massa lantaran dituduh sebagai pelaku penculikan anak. Saat itu marak beredar hoax tentang penculikan anak melalui pesan berantai di ponsel para orang tua. Setelah ditelusuri oleh pihak berwajib, didapatkan informasi bahwa pria itu hendak mengunjungi cucunya (liputan6.com).

 

Semakin terbukti bahwa teknologi memang benar-benar seperti pedang bermata dua. Saat digunakan untuk kebaikan, maka banyak pihak yang akan terbantu. Namun sebaliknya, saat digunakan untuk keburukan, maka dampaknya akan sangat terasa. Seperti halnya internet saat ini, laksana pedang bermata dua. Sekali waktu internet sangat membantu dalam kemudahan informasi dan komunikasi. Namun diwaktu lain, bisa dengan mudah menjatuhkan nama baik bahkan memakan korban seseorang hanya dengan secuil berita hoax.

Saat ini hoax sudah menjadi fenomena global. Dalam hitungan detik, sebuah berita hoax mampu menyebar ke seluruh penjuru dunia dengan bantuan teknologi internet. Dengan semakin populernya facebook, twitter, instagram, line, whatsApp dan berbagai aplikasi media sosial lainnya di seluruh dunia, hoax juga turut menggeliat.

Apa kabar hoax di Indonesia?

Berbagai penjelasan hoax dari sejumlah pakar bisa ditarik benang merah, bahwa hoax itu adalah usaha untuk menipu atau mengakali pembacanya untuk mempercayai sesuatu. Padahal si pembuat berita palsu itu tahu bahwa berita yang disebarkannya tidak benar adanya.

Sebelum lebih jauh berbicara tentang hoax, mari kita tengok secuil data di Indonesia yang berkaitan dengan penggunaan data internet. Berdasarkan data hasil survei dari APJII (Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia) di Indonesia pada tahun 2016 lalu, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 132,2 juta user atau sekitar 51,5% dari total jumlah penduduk di Indonesia sebesar 256,2 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, setidaknya terdapat sejumlah 24,4 juta jiwa pengguna berusia 10 -24 tahun. Di Indonesia usia tersebut rata-rata merupakan pelajar SD hingga mahasiswa.

Facebook menjadi konten sosial media yang paling banyak dikunjungi sebesar 71,6 juta jiwa atau 54% dari seluruh media sosial lain seperti instagram, youtube, line, google+, twitter dan linkedin. Selain itu, sebanyak 63,1 jiwa atau sekitar 47,6% nya menggunakan perangkat mobile atau smartphone untuk mengakses internet.

Dari data di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa hampir sebagian besar pengguna internet di Indonesia mengakses media sosial melalui smartphone dibandingkan dengan situs-situs lain. Keadaan ini menjadi salah satu petunjuk betapa informasi melalui media sosial bisa menyebar begitu cepat ke hampir separuh penduduk di Indonesia. Maka wajar saja jika hoax begitu tumbuh subur di sini.

Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) RI di tahun 2016 juga mengungkapkan data yang tak jauh beda. Dari 63 juta jiwa pengguna internet di Indonesia sebanyak 95% diantaranya menggunakannya untuk mengakses jejaring sosial.

Lebih lanjut Kominfo menjelaskan bahwa ada sebanyak 800 ribu situs di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar berita hoax. Selama tahun 2016 Kominfo juga mengklaim telah memblokir 773 ribu situs yang kontennya mengandung unsur pornografi, SARA, penipuan, narkoba, perjudian, radikalisme, kekerasan, keamanan dan hak kekayaan intelektual (HKI).

Terkadang untuk memastikan infomasi asli atau hanya sebatas hoax, pembaca perlu sedikit direpotkan. Namun sedikit kerepotan itu tentu tak mengapa apabila dibandingkan dengan akibat yang mungkin disebabkan kalau tidak teliti dalam menelaah sebuah berita.

Menerka sebuah berita itu hoax atau bukan sebenarnya susah-susah mudah. Susah dirasakan apabila berita hoax itu informasinya sesuai dengan opini atau sikap yang dimiliki pembacanya. Faktor subyektif membuat kebohongan nampak sangat benar. Kalau sudah seperti ini, berbagai bantahan maupun sangahan atas informasi yang diyakininya akan menjadi sulit.

Facebook mencoba memberikan tips ringan untuk mengetahui dengan mudah apakah suatu berita benar adanya atau hanya hoax semata, yaitu :

  1. Selalu berpikir skeptis (ragu) terhadap judul berita, terutama yang untuk judul-judul yang bombastis dan mengandung klaim-klaim tertentu. Judul-judul bombastis memang bertujuan untuk memancing emosi sehingga pembaca tidak lagi obyektif dalam menilai sebuah berita. Klaim-klaim palsu juga disusupkan agar semakin menyakinkan. Apalagi bila muncul seruan untuk menyebarluaskan informasi tersebut melalui berbagai cara.
  2. Pastikan tautan atau sumber-sumber informasinya dengan teliti. Sebuah informasi yang benar umumnya berani mencantumkan tautan atau sumber yang digunakan sebagai referensinya.
  3. Perhatikan foto, video, tanggal, identitas penulis. Biasanya sebuah berita hoax tidak akan mencantumkan identitas penulis dengan jujur. Terkadang menggunakan profil orang lain untuk menyembunyikan profil aslinya.
  4. Perhatikan maksud dari situs atau sumber informasinya. Bisa jadi memang sebuah situs yang khusus berisi lelucon atau sindiran dengan mengemas ulang berita tertentu.

 

Motivasi seseorang membuat dan menyebarkan konten hoax baik itu melalui media elektronik maupun media lain, tentu sangat beragam. Bisa saja sebuah hoax dilatarbelakangi persaingan usaha, dendam, radikalisme terhadap suatu paham atau keyakinan, permusuhan atau hanya sebatas iseng belaka.

Selain itu, motivasi hoax juga bisa ditengarai melalui bahaya atau efek yang bisa ditimbulkan dari sebuah berita hoax, yaitu :

  1. Merugikan suatu pihak
  2. Memberikan reputasi buruk bagi pihak lain
  3. Menjadi ajang penyebaran fitnah
  4. Menyebarkan informasi yang salah

Dampak negatif berita hoax tidak hanya merugikan seseorang saja. Namun bisa pula dialami oleh kelompok, perusahaan dan pemerintah. Bisa kita bayangkan apa yang terjadi apabila suatu kelompok masyarakat difitnah melalui berita hoax yang mengatasnamakan kelompok masyarakat lain. Tentu bisa memicu konflik sosial yang bisa pula berujung pada perselisihan fisik antar kelompok.

Hoax juga pernah hampir merusak beberapa merk terkenal di Indonesia. Seperti cerita hoax tentang pemanis buatan Aspartam yang disebarkan melalui pesan berantai pada tahun 2009 lalu dan sempat merebak lagi di tahun 2017 ini. Setidaknya ada 19 merk produk minuman yang beredar di masyarakat, termasuk diantaranya merk Marimas yang tercoreng namanya karena hoax tersebut.  Pesan yang mengatasnamakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) ini telah dibantah oleh IDI sekaligus BPOM yang menyatakan bahwa Aspartam dapat digunakan secara aman dan tidak berbahaya bila sesuai takaran.

 

 

 

Adakah peran Guru dan Pendidikan dalam Menangkal Hoax?

Guru dan pendidikan sebenarnya memiliki peran yang sangat strategis dalam menangkal geliat hoax. Guru juga memiliki kewajiban sosial untuk bisa mengarahkan dan mengedukasi siswa agar tidak gagap dalam menerima informasi hoax. Meskipun guru hanya bekerja dalam lingkup sekolah, namun interaksinya dengan siswa memungkinkannya untuk bertindak lebih menangkal hoax.

Sebagaimana informasi sebelumnya, bahwa hampir sebagian besar pengguna media sosial di Indonesia adalah pelajar dan mahasiswa. Maka, apabila tindakan-tindakan untuk menangkal hoax dimulai dari pelajar dan mahasiswa, maka bisa dipastikan mata rantai penyebaran informasi hoax tidak akan efektif.

Namun tentu saja untuk membekali siswa sadar akan hoax dan bahayanya, tidak cukup hanya dengan memberi tahu laksana penjelasan materi pelajaran di kelas. Perlu metode, tahapan, jurus dan kesabaran agar siswa benar-benar memahami keadaan mereka yang mudah dipengaruhi berita hoax serta cara menangkalnya. Salah satu metode agar siswa bisa mendiri mendeteksi suatu berita hoax adalah membekali siswa pada kemampuan Metodologi Ilmiah (Metilmiah).

Pada pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dikenal sebuah metode ilmiah (Metilmiah) yang menjadi pedoman bagi kalangan ilmiah saat meneliti suatu fenomena alam. Sebuah gejala alam tidak bisa cukup dipahami hanya dengan mendengar kisahnya saja di buku-buku pelajaran. Meski apa yang tertera di buku-buku pelajaran tersebut memang menjadi salah satu fakta ilmiah, namun sangat mungkin yang sebenarnya terjadi bukanlah seperti itu.

Sehingga para penggiat ilmu alam harus selalu memiliki minat yang tinggi untuk selalu menggali informasi ilmiah. Tidak puas terhadap pencapaian ilmu alam saat ini. Dan selalu muncul semangat untuk selalu dalam membuktikan kebenaran dari fakta-fakta alam yang sudah dikemukakan oleh para pendahulu.

Sikap untuk percaya setelah membuktikan sendiri dengan percobaan ilmiah merupakan bagian dari karakter yang dihasilkan dari kebiasaan melakukan metilmiah dalam menuntaskan suatu permasalahan. Karena sangat mungkin apa yang dipikirkan dan dibuktikan oleh para ilmuwan terdahulu bukanlah kebenaran yang mutlak.

Metodologi ilmiah (Metilmiah) memiliki urutan langkah sebagai berikut :

  1. Merumuskan masalah. Kritis dalam mengamati persoalan yang ada di lingkungan,
  2. Menyusun kerangka berpikir yaitu mencanangkan tahapan atau alur penelitian yang tepat dan efektif,
  3. Menyusun hipotesa atau dugaan sementara terhadap pertanyaan atau masalah yang dihadapi,
  4. Melakukan eksperiman atau uji lapangan
  5. Menarik kesimpulan

 

Agar kemampuan metilmiah siswa semakin terasah bisa dilakukan dengan berbagai studi kasus. Seperti kisah september 2017 tentang warung bakso Kumis Permai VI di Bekasi yang langsung sepi dari pelanggan gara-gara berita hoax yang menyebar melalui group WhatsApp dan Facebook. Diinformasikan melalui pesan berantai bahwa daging bakso yang digunakan bukanlah daging sapi, melainkan daging babi.

Berdasarkan informasi di atas, siswa bisa mulai merumuskan masalah dengan kerangka berpikir dimulai dari aspek legalisnya. Sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau ijin usaha pengolahan makanan dari dinas pemerintahan terkait. Setelah itu, siswa bisa melanjutkan melalui berbagai dugaan-dugaan yang nantinya akan dibuktikan melalui uji eksperimen.

Kegiatan dilanjutkan dengan melakukan uji praktikum untuk membuktikan berbagai klaim, baik yang disebarkan oleh hoax maupun oleh apa yang diduga oleh siswa itu sendiri. Misalnya untuk membuktikan apakah daging yang digunakan mengandung daging babi atau tidak? Langkah akhir setelahnya adalah menarik kesimpulan.

Apabila siswa terbiasa menerapkan metodologi ilmiah dalam memecahkan setiap permasalahan di kelas atau selama pelajaran, maka sangat mungkin kebiasaan tersebut akan dibawa saat menghadapi permasalahan di luar kelas. Siswa jadi tidak mudah begitu saja percaya dengan berbagai informasi yang tersebar, baik itu secara lisan maupun melalui media sosial. Siswa akan mungkin menguji informasi tersebut seperti layaknya sedang uji praktikum.

Dari sini maka penulis berpendapat bahwa sebanyak apapun informasi hoax yang menyebar, maka akan berhenti bisa sampai pada siswa dengan kemampuan metodologi ilmiah sebagaimana tersebut di atas.

Sebagaimana pengalaman penulis saat menerima laporan dari bendahara kelas bahwa uang kas kelas hilang serta menuduh salah satu siswa yang mengambilnya. Menghadapi informasi tersebut penulis mencoba untuk menenangkan bendahara yang tampak syok tanpa membahas siapa pencurinya. Tujuannya adalah untuk menenangkan situasi agar bisa berpikir jernih dalam memutuskan tindak lanjut atas laporan tersebut.

Pembahasan tentang kejadian tersebut baru dilakukan sehari setelahnya dengan memanggil beberapa siswa yang mungkin diperkirakan mengetahui peristiwa tersebut sesungguhnya. Setelah diskusi cukup panjang sesuai dengan runtutan metodologi ilmiah disertai kesaksian dari beberapa siswa, ternyata uang kas yang dinyatakan bendahara kelas hilang, sebenarnya justru dipakai sendiri olehnya. Karena tidak mampu mengembalikannya, padahal uang kas tersebut akan segera dipakai, maka muncullah sandiwara tersebut.

Pembahasan dimulai dengan memastikan permasalahan yang terjadi, dilanjutkan dengan membuat dugaan-dugaan dan melakukan percobaan atau rekontruksi sebagaimana cerita beberapa saksi, maka diambillah sebuah kesimpulan.

Permasalahan didiskusikan dengan kepala dingin, tanpa mengumbar cerita yang berlebihan dan terarah, ternyata bisa menyelesaikan permasalahan tanpa terjadi kehebohan yang tidak diperlukan. Disamping bisa menyelamatkan siswa tertuduh dari pandangan buruk sebelum ada pembuktian, juga menyelamatkan si pelaku sesungguhnya dari rasa malu yang berlebihan.

 

Hoax bukan hal baru

Sebenarnya hoax bukanlah cerita baru. Hoax tidak bekerja hanya melalui internet, sosial media atau perangkat elektronik lain. Mungkin inilah bentuk hoax terbaru saat ini. Dahulu, kita mengenal cerita berantai, surat kaleng, kabar burung, desas desus, fitnah, hasut dan berbagai istilah lain yang sebenarnya mirip dengan hoax.

Hoax memang bekerja sepanjang manusia masih saling berkomunikasi antar sesamanya. Hoax selalu bnertranformasi ke dalam berbagai macam bentuk sesuai dengan jenis komunikasi yang dipakai saat itu. Dan mungkin hoax akan selalu ada sepanjang masa.

Beda hoax dulu dengan sekarang mungkin lebih pada keberadaan teknologi internet dan kemampuan sosial media dalam penyebaran berita hoax yang sangat cepat dan menyebar seolah tanpa batas. Ditambah kemampuan literasi sebagian besar masyarakat Indonesia yang masih kurang, sehingga mudah percaya berita hoax tanpa ada upaya melakukan klarifikasi.

Namun, kita perlu mengapresiasi pemerintah yang gesit dalam meredam hoax sehingga tidak menjadi gejolak di masyarakat. Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) mampu menertibkan dan menjerat penyebar hoax dan fitnah di internet. Dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya, setidaknya ada payung hukum yang bisa digunakan para korban hoax untuk menuntut pada penyebar hoax.

Masyarakat juga tak tinggal diam dengan geliat hoax saat ini. Munculnya aplikasi internet pada tahun 2016 lalu dengan nama Turn Back Hoax oleh komunitas Masyarakat Anti Fitnah Indonesia yang dirancang untuk mengumpulkan berbagai informasi fitnah dan hoax yang beredar di internet, merupakan bukti hoax memang harus kita perangi bersama.

Pada akhirnya keluarga merupakan garda terdepan kita dalam menghadapi berita hoax dan fitnah yang mungkin mendera kita. Pastikan pula menjauhi postingan-postingan yang menjurus pada berita hoax. Termasuk pula tidak mudah menyebarkan (share) informasi-informasi yang belum diketahui kebenarannya. Sehingga jangan sampai kisah tragis Maman Budiman kembali terulang. #antihoax #marimas #pgrijateng

Tinggalkan komentar