GTT (belum) Merasa Merdeka

guru tidak tetapBulan ini, Agustus adalah bulan “keramat” bagi bangsa Indonesia. Pekik kemerdekaan tiba-tiba terdengar kembali. Baju adat kembali dikenakan, setelah sekian lama tersimpan di lemari. Lagu-lagu perjuangan kembali menjadi hits, baik di situs pencarian, media sosial hingga situs berbagi video.

Tak lupa pernak pernik bernuansa merah putih menjadi tren baik dalam busana maupun hiburan. Lomba makan kerupuk, balap karung, panjat pinang dan berbagai lomba khas agustusan kembali semarak di berbagai belahan nusantara. Bahkan derap langkah Paskibra (Pasukan Pengibar Bendera) tiba-tiba menjadi viral.

Apakah ada yang salah dengan berbagai ke-khas-an yang terjadi di bulan ini?

Tentu tidak. Kemeriahan ini menjadi sangat wajar, karena berlangsung pada saat dan tempat yang tepat. Dan hal-hal seperti ini biasa terjadi di berbagai belahan dunia saat momentum perayaan kemerdekaan dari kungkungan penjajah. Sejarah memang mencatat, hampir sebagian besar negara di dunia ini pernah mengalami penjajahan hingga kemudian meraih kemerdekaan.

Hanya saja, terkadang kita terlalu gembira dalam mengenang peristiwa bersejarah yang terjadi tujuh puluh dua tahun yang lalu itu. Kita mudah terlarut dalam keriuhan lomba-lomba dan suasana, sehinga kita tidak menyadari banyak hal. Kita lantang berteriak tentang nasionalisme, sementara hampir seisi rumah bermerk luar negeri. Kita bangga terhadap jasa pahlawan, padahal sebenarnya nama-nama mereka pun semakin terlupakan.

Kata-kata “merdeka” berkali-kali kita teriakkan, sementara sesungguhnya makna dari merdeka pun tak dipahami. Lalu, apakah sesungguhnya bangsa kita sudah benar-benar merdeka dari penjajahan?

Untuk menjawabnya, marilah sejenak kita mengulas secara bahasa. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) merdeka berarti bebas; berdiri sendiri, tidak terkena atau lepas dari tuntutan atau tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu.

Lawan dari merdeka adalah terjajah. KBBI menyatakan, bahwa terjajah berarti dalam keadaan terjajah; tertindas; tersusahkan. Jadi itu berarti, selama kita masih tertindas, terikat, dan bergantung kepada orang atau pihak tertentu, maka belumlah bisa berkata merdeka. Selama ketergantungan itu masih ada, maka kemerdekaan yang sedang kita rayakan ini sebenarnya masih semu.

Untuk bisa memaknai kalimat di atas, janganlah bertanya pada para pejabat dan anggota dewan yang terhormat. Keberadaan beliau-beliau yang sering berada di lapisan masyarakat atas jarang bersentuhan langsung dengan keadaan masyarakat sesungguhnya.

Silahkan bertanya langsung kepada para gelandangan, pengamen, PSK, anak-anak yatim, buruh dan GTT. Merekalah yang bisa menceritakan arti sesungguhnya kemerdekaan dan terjajah. Merekalah yang selama ini menjadi kelompok masyarakat bawah.

Diantara mereka, saya mencoba akan menyuarakan arti kemerdekaan bagi Guru Tidak Tetap (GTT). Mereka adalah bagian dari para pengabdi negara sesungguhnya. Mereka bekerja keras, penuh tuntutan dan resiko namun kemerdekaannya masih terkungkung secara ekonomis dan pengakuan.

Secara ekonomis, modal untuk menjadi guru tidaklah murah dan singkat. Menyelesaikan studi di pendidikan formal dari SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK hingga perguruan tinggi kependidikan bukanlah waktu yang singkat. Setidaknya dibutuhkan waktu pendidikan sekitar lima belas tahun untuk bisa menyandang gelas sarjana pendidikan. Konsekuensinya sebagian besar masa remaja mereka digunakan untuk belajar di sekolah.

Biaya untuk bersekolah selama lima belas tahun jelas tidaklah sedikit. Bahkan banyak orang tua yang rela hidup pas-pasan dan berhutang sana-sini, demi membiayai calon-calon guru saat sekolah. Besaran dana yang dikeluarkan jelas menunjukkan bahwa untk mendapatkan status sarjana pendidikan itu tidaklah murah.

Saat melamar untuk menjadi GTT pun harus dilalui dengan seleksi ketat yang dilaksanakan oleh sekolah. Terkadang surat sakti dan amplop mesti digunakan untuk bisa memuluskan cita-cita ikut mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Setelah menjadi GTT dan bekerja mendidik dan mengajar, ternyata apa yang mereka dapatkan sangat tidak sebanding dengan pengorbanan dan keringat yang dikeluarkan. Jangankan dibandingkan dengan guru ASN (Aparatur Sipil Negara), dengan ART (Asisten Rumah Tangga) saja, honor GTT masih dibawahnya.

Berbagai pengorbanan berupa waktu, dana, tenaga dan pikiran yang telah dikeluarkan oleh GTT, ternyata masih belum mengetuk hati para pembuat kebijakan. Saat ini, pemerintah provinsi memang telah mengakui keberadaan GTT. Itu pun masih dengan embel-embel syarat jumlah minimal jam mengajar minimal sebanyak 24 jam pelajaran. GTT yang beban mengajarnya kurang dari itu, masih belum diakui.

Sedangkan pemerintah kabupaten yang membawahi pendidikan formal hingga setingkat SMP/MTs masih belum berkutik dalam memberikan pengakuan pada GTT. Ketiadaan pengakuan itu, menjadikan GTT seperti layaknya pekerja serabutan yang bekerja di sekolahan. Mereka diterima oleh sekolah, bekerja untuk sekolah dan dibayar oleh sekolah. Di saat sekolah membutuhkan, maka bekerjalah GTT. Di saat sekolah tidak membutuhkan, maka selamat tinggal GTT.

Terlepas dari berbagai keraguan tentang akurasi data keberadaannya, GTT saat ini jumlahnya banyak. Berdasarkan data yang dirilis oleh Kemendibud melalui Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMP-PMP) pada awal Januari 2016, setidaknya sebanyak 1.338.150 guru non ASN di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut meliputi GTT, GTY (Guru Tetap Yayasan), guru bantu dan honorer.

Saat ini, tentu jumlah GTT semakin semakin banyak, seiring dengan banyaknya ASN yang memasuki usia pensiun. Adanya kebijakan zero growth untuk jumlah ASN oleh pemerintah pusat, semakin mengukuhnya ketidakmampuan pemerintah dalam mengakomodir keberadaan GTT.

Nasib GTT yang semakin berumur menjadi semakin terkatung-katung dengan munculnya pesaing para calon guru yang baru lulus, lebih segar, gesit dan menawan. Pada bagian ini, perguruan tinggi kependidikan seperti menutup mata. Seperti saling bersaing, perguruan tinggi saling berlomba melepas ratusan hingga ribuan sarjana pendidikan tiap tahunnya. Maka semakin senjanglah antara jumlah kebutuhan kursi guru dengan jumlah sarjana pendidikan yang menganggur.

Di saat nasib GTT yang masih terkatung-katung, nasib para sarjana pendidikan juga tak kalah sial. Tengoklah di masyarakat, berapa banyak sarjana pendidikan yang potensial akhirnya beralih profesi karena ketiadaan kesempatan mengajar.

Kalau keadaan terus begini, maka sampai kapan nasib GTT akan membaik? Lalu, sampai kapan dunia pendidikan akan terus sibuk dengan urusan GTT, sementara banyak persoalan pendidikan lain yang perlu dipikirkan dan ditata lagi.

Proklamator RI, Soekarno bernah berujar, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”. Merujuk uraian di atas, rasa-rasanya sah dan wajar saja, apabila GTT masih belum yakin kalau Indonesia sudah merdeka.

Tinggalkan komentar