Cerpen : Pemuda Bodoh yang Beruntung

Pada zaman dahulu di sebuah desa yang terpencil, hiduplah seorang pemuda miskin bernama Joko. Desa tempat tinggal Joko terletak di tengah hutan yang jauh dari desa-desa yang lain. Joko tinggal bersama ibunya yang sudah tua di rumah kecil peninggalan ayahnya. Saat Joko masih kecil, ayahnya sudah meninggal karena sakit.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup, ibunya bekerja sebagai buruh pencuci baju. Upah yang diterima ibunya tak seberapa. Hanya cukup untuk makan dan keperluan sehari-hari Joko dan ibunya. Maka, tak ayal Joko dan ibunya hidup dalam keadaan serba kekurangan. Kini, semakin hari tubuh ibunya semakin tua dan lemah.

Di desanya Joko dikenal sebagai pemuda yang malas dan bodoh. Setiap hari Joko hanya tidur, makan dan berkumpul bersama teman-temannya. Sama sekali tidak ada aktivitas berarti yang dilakukan Joko.

Namun demikian, Joko adalah anak yang sangat berbakti kepada ibunya. Apa pun perintah ibunya, selalu Joko lakukan. Joko menyadari bahwa hanya ibunya lah satu-satunya keluarganya yang masih hidup. Ibunya pula lah yang selama ini menjadi tempat bersandar bagi Joko. Joko sangat sayang dan hormat kepada ibunya. Sebenarnya Joko ingin bekerja dan menghasilkan uang untuk kebutuhan sehari-hari, namun Joko bingung apa yang harus dilakukan.

Menyadari tubuh yang semakin lemah dan tua, Ibunya Joko mulai gelisah memikirkan nasib masa depan anaknya. Joko saat ini telah tumbuh semakin dewasa. Wajahnya rupawan, badannya tegap, namun sangat pemalas dan bodoh.

Ibunya merasa sudah saatnya untuk istirahat dari pekerjaannya sehari-hari. Dan berharap Joko bisa menggantikannya mencari nafkah untuk kebutuhan hidup berdua. Ibunya mulai memikirkan apa sebenarnya pekerjaan yang cocok untuk Joko. Juga berharap Joko segera menemukan jodohnya.

Hingga suatu saat ibunya meminta Joko untuk pergi bekerja. Baca lebih lanjut

Menjadi Guru yang “Profesional”

1

Sontak suasana menjadi hening, saat Sumarna Surapranata, Ph.D, Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemendikbud RI, menyampaikan bahwa hingga saat ini, sebagian besar guru masih “dibohongi”. Sebagai salah satu profesi yang harus dijalankan secara profesional, sejujurnya guru hingga saat ini masih juga belum bisa independen.

Sumarna menjelaskan hal tersebut saat menjadi keynote speaker pada acara seminar nasional guru pendidikan dasar berprestasi, yang diselenggarakan di Swiss-Belhotel Mangga Besar, Jakarta, pada Rabu, 10 Mei 2017. Seminar yang digagas oleh Kemendikbud RI ini, dihadiri oleh 260 peserta guru berprestasi yang berasal dari seluruh Indonesia.

Mengomentari tema seminar yaitu membangun profesionalitas guru pendidikan dasar dalam era globalisasi, Sumarna menjelaskan setidaknya ada tiga hal yang perlu menjadi perhatian guru untuk menjadi profesional. Pertama, saat ini guru selalu “dibohongi” dan menjadi kurang independen dalam bekerja. Sebagai sebuah profesi, guru hanya berhak dinilai kinerjanya oleh seseorang yang juga berprofesi guru. Bahkan bukan hanya itu, sang guru penilai juga seharusnya memiliki kompetensi mengajar sama dengan guru yang sedang dinilai kinerja olehnya.

4

Penilaian kinerja seorang guru juga seharusnya dilakukan secara profesional. Kualitas seorang guru fisika misalnya, tentu hanya tepat apabila dilakukan oleh seorang guru yang juga mengampu pelajaran fisika. Akan menjadi sangat dilema, apabila justru kinerjanya dinilai oleh seseorang yang bukan guru. Bahkan meski seorang dosen yang merupakan profesor sekali pun. Karena, dosen bukanlah seorang guru. Meskipun seorang guru besar adalah seorang dosen. Baca lebih lanjut