Rindu Jogja

jokjadulu1

Enam tahun lamanya meninggalkan Yogyakarta alias Jogja sejak tahun 2007, ternyata tak bisa menghapus kenanganku terhadap kota itu. Terkadang, demi melepas rinduku dengan Jogja, aku mencari-cari alasan agar bisa mengunjungi Jogja. Entah sekadar lewat demi merasakan hiruk pikuk Jogja, hinggap sejenak di warung angkringan, jalan-jalan di Malioboro, hingga mendengarkan debur ombak pantai Parangtritis.

Delapan tahun tinggal di Jogja ternyata terasa begitu membekas. Rasa-rasanya hingga saat ini masih merasakan diri sebagai orang Jogja. Segala berita yang menyangkut soal Jogja, langsung terekam. Aksesoris-aksesoris seperti kaos, dompet, hingga sepatu ala Jogja pasti langsung tertarik. Ada teman atau saudara hendak pergi ke Jogja, pasti nitip belanjaan khas Jogja. Sampai-sampai begitu tahu ada kenalan baru pulang dari Jogja mesti diburu. Siapa tahu bawa oleh-oleh khas Jogja. Lumayan, bisa sekadar mengobati rasa rinduku dengan Jogja.

Masa-masa tinggal di Jogja ibarat masa perjuangan. Perjuangan mencari jati diri, mengenal kawan dan persaudaraan, pengalaman, ketrampilan, prinsip hidup hingga pasangan hidup. Awal-awal tinggal di Jogja, berbagai cara aku tempuh demi mengenal Jogja. Seringkali dengan sengaja aku menyusuri gang-gang sempit di sekitar kota Jogja. Memahami dan mencoba bertutur ala dialek Jogja. Mencicipi berbagai sajian khas Jogja yang seumur-umur baru aku rasakan. Mengunjungi berbagai perayaan adat di Jogja. Keluar masuk mall-mall meski tak bawa uang receh sekalipun. Begadang di angkringan Malioboro hingga pagi hari sampai masuk angin. Menembus mitos pohon beringin kembar di alun-alun Utara dengan mata tertutup. Hingga mencoba peruntungan usaha dengan berjualan es di depan pasar Bering Harjo.

Saat ini, dikala ingatan selalu tertuju ke Jogja, tangan ini seperti tak henti bertutur tentang Jogja. Mata ini terus menerawang seolah bisa menembus waktu sambil melihat Jogja kala itu. Serasa aroma soto Jogja masuk ke dalam sela-sela jendela rumah menuju lubang hidung ini. Otak ini seperti sedang membuka halaman demi halaman tentang Jogja berdasarkan apa yang aku lihat, rasakan dan renungkan.

KOTA KULINER

gudegCerita awal tentang Jogja adalah tentang kulinernya. Alasannya mudah saja, ibarat orang hendak bekerja di pagi hari, maka pastilah perlu sarapan sebagai bekal energi untuk bekerja. Begitu pula untuk berwisata ke Jogja, langkah pertama dan utamanya adalah mencicipi terlebih dahulu kuliner khas Jogja.

Biasanya kuliner khas Jogja itu berasa manis. Mungkin lidah orang-orang Jogja lebih suka yang manis-manis. Dari sekian banyak kuliner khas Jogja, gudeg memang menduduki rangking satu dari segi popularitas. Makanan manis berbahan dasar buah nangka muda itu ibarat makanan wajib bagi para pendatang. Oleh-oleh utama yang tahan lama, murah dan hampir selalu ditemukan di berbagai sudut kota. Kawasan Wijilan di bagian Selatan Jogja dan kawasan Barek di bagian Utara Jogja sudah terkenal bertahun-tahun sebagai sentra penjualan gudeg. Anda yang terbiasa bangun malam-malam dan merasakan perut keroncongan, meluncurlah ke kawasan-kawasan itu yang siap menanti anda 24 jam.

Masalah harga, jangan khawatir. Kalau pas kantong penuh, cobalah gudeg yang disajikan di resto-resto. Dan disaat kantong semakin menipis, cobalah yang disajikan di emper-emper toko di malam hari. Soal rasa memang selera, tetapi gudeg ala pinggir jalan tak kalah lezatnya dengan yang disajikan di resto mewah sekalipun. Malah kalau kita menikmati kuliner Jogja di pinggir jalan, maka nuasa Jogja sangat terasa.

Selain gudeg, ada pula brongkos yang konon salah satu kuliner favorit Sultan Hamengkubuwono X. Ada pula jajanan bakpia, nasi kucing, pecel lele, soto Jogja, oseng mercon, nasi kucing, peyek undur-undur, kicak, geplak, wedang ronde dan wedah uwuh. Melewati Jogja tanpa mencoba kulinernya, bagiku sangat mengecewakan.

KOTA KERAJAAN

200px-Jogja.kratonMengenal Jogja tanpa mengenal Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat laksana rindu tanpa cinta. Kering dan tanpa kesan sama sekali. Maka setelah menikmati kuliner Jogja bersegeralah menuju titik nol Jogja yang terletak di tengah perempatan kantor pos, Monumen Supersemar (Serangan Umum Satu Maret), Gedung Istana Negara, Benteng Vredeburg dan BNI 46. Sekitar satu kilometer ke Selatan terdapat bangunan megah tempat sang raja Jogja bertahta.

Kalau dunia mengenal Inggris dan Belanda sebagai negara kerajaan, maka di Indonesia mengenal Jogja sebagai kota kerajaan. Nuansa kerajaan akan begitu semakin terasa saat kendaraan yang kita naiki merapat ke pusat kota. Sisa-sisa kemegahan bangunan istana dan bagian-bagiannya mudah dikenali yang sesekali nampak di sepanjang jalan. Sisa-sia bangunan tersebut biasanya berdinding tebal, kokoh, bercat putih dan penuh dengan ornamen-ornamen yang menyimpan banyak cerita.

Sejarah mencatat kerajaan Jogja telah bergabung secara resmi menjadi bagian dari Republik Indonesia dengan gelar propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sejak tahun 1950. Sang raja saat ini yang bergelar Sultan Hamengku Buwono X melalui Undang-Undang Keistimewaan DIY telah ditetapkan sebagai Gubernur DIY. Sebagai sultan, beliau sebagai simbol kedaulatan raja yang memimpin tradisi kesultanan hingga saat ini. Sebagai gubernur, beliau adalah pemimpin jalannya roda pemerintahan di propinsi tersebut.

Saat ini sebagian dari kompleks istana menjadi museum yang menyimpan berbagai koleksi sejarah kesultanan dan obyek kajian sejarah yang sangat menarik. Sebegitu menariknya sehingga pada tahun 1995 pernah dicalonkan menjadi salah satu situs warisan dunia UNESCO.

Sayangnya sebagian besar bentuk bangunan keraton saat ini adalah hasil pemugaran dan restorasi karena usia dan kerusakan akibat gempa bumi pada tahun 2006 silam. Meski begitu tidak mengurangi wibawa dan nilai sejarah yang tersimpan di bangunan tersebut. Kompleks Kedathon, Taman sari, Masjid Gede Kauman, Tugu Jogja, Panggung Krapyak hingga Alun-alun Lor adalah salah satu peninggalan bangunan kerajaan yang masih tersisa hingga kini.

Upacara adat Tumplak Wajik, Garebeg, Sekaten hingga upacara Siraman Pusaka dan Labuhan merupakan tradisi kerajaan yang masih lestari hingga kini. Beruntunglah jika kita saat di Jogja bertepatan dan bisa menyaksikan upacara-upacara adat tersebut. Berebut gunungan berupa tumpeng besar yang berisi berbagai macam buah. Menikmati kemeriahan sekaligus merasakan kesakralan ritual-ritual budaya Jogja yang mungkin hanya satu-satunya di planet bumi ini.

KOTA ANGKRINGAN

Angkringan JogjaKuliner dan keraton jelas tampak wujud dan rasanya. Tetapi rinduku terhadap Jogja tidak selalu karena suatu alasan yang berwujud. Obrolan santai ala warung angkringan Jogja sungguh bukan saja membuat kepala penat ini menjadi segar kembai, juga membuatku bisa betul-betul melebur dengan orang Jogja.

Merasakan obrolan dari hati ke hati, mendengarkan kisah-kisah tentang Jogja hingga memahami nasihat-nasihat hidup. Orang Jogja adalah orang yang ramah, murah senyum, sangat terbuka dengan para pendatang dan tak segan untuk memberikan wejangan-wejangan hidup terutama dengan anak-anak muda. Namun dibalik itu, mereka adalah masyarakat yang memegah teguh norma, adat istiadat, agama, serta memiliki penghargaan dan kepatuhan yang tinggi terhadap Sultan. Jadi jangan sekali-sekali membicarakan sesuatu yang buruk tentang Sultan mereka. Percayalah, mereka sungguh tak nyaman.

Bicara tentang kenyamanan di warung angkringan, mungkin salah satunya adalah sajiannya. Berbagai macam menu murah meriah harga mahasiswa tersaji di gerobak. Menunya mulai dari nasi kucing oseng-oseng, ceker ayam bakar, tempe bacem, gorengan hingga segarnya wedang jahe. Semuanya mantap di lahap di kala malam hari, saat perut keroncongan dan ditemani suasana syahdu nan remang ala lampu teplok.

Sebenarnya tenda angkringan bukan sekadar tenda untuk mengisi perut semata, tetapi juga tenda untuk bersosialisasi, berkenalan, obrolan ringan hingga diskusi serius. Pelanggannya multi profesi. Mulai dari para pekerja, buruh, orang kantoran, pegawai, mahasiswa, pelajar hingga turis asing.

Selain itu, khusus bagi para mahasiswa macam aku ini, angkringan bak dewa penyelamat. Di saat isi kantong sudah semakin menipis, angkringan-lah pelampiasanku. Tak perlu malu beli nasi kucing sebungkus pakai uang receh sekalipun. Para pedagang angkringan sudah sangat maklum. Angkringan memang untuk segala lampisan masyarakat. Ajak pacar ke angkringan pun bukan hal yang memalukan.

Angkringan juga menjadi pelampiasanku saat mempersiapkan diri untuk begadang. Rasanya ringkas dan sederhana. Cukup dua bungkus nasi kucing sambal terasi, ditambah ceker bakar dan tempe bacem. Sebagai penutup menu bolehkah mencoba jahe panas atau wedang ronde. Dijamin, bukan hanya perut yang kenyang, badan juga hangat dan siap untuk begadang semalaman.

Angkringan juga bukan sekadar kaki lima biasa. Angkringan biasa menjadi kawah candradimuka para mahasiswa dalam mengembangkan insting bisnisnya. Tak jarang pula para mahasiswa mengandalkan bisnis warung angkringan demi hidup dan melanjutkan studi di Jogja.

Angkringan biasa nampak di sepanjang sudut kota Jogja menjelang waktu maghrib hingga tengah malam. Bahkan ada beberapa angkringan yang buka 24 jam non stop. Cobalah tengok di pinggir-pinggir jalan raya menjelang petang. Pastinya berdiri berbagai macam warung angkringan dengan berbagai kelebihan layanan yang ditawarkan.

KOTA PANTAI

parangtritis beachParis ala Jogja bukanlah kota romantis dimana menara Eiffel nan romantis berdiri. Paris ala Jogja adalah pantai Parangtritis dengan pasir putihnya. Terletak 27 kilometer arah selatan dari pusat kota. Memang sgak jauh dari pusat kota, tapi pemandangan di Paris kiranya sebanding dengan jarak tempuhnya. Suasana romantis mudah saja didapat apalagi kalau menjelang senja.

Alasan untuk merindu Paris bisa langsung dirasakan seusai mengunjunginya. Tebing Gembirawati di sisi belakang pantai, gundukan pasir pantai yang bersih, garis pantai yang panjang, debur ombak yang cukup mendebarkan hati hingga legenda Ratu Kidul yang konon adalah penguasa laut selatan. Rahasia lain dari pantai ini adalah ditemukannya sebuah reruntuhan candi di sebelah timur tebing Gembirawati ini.

Menikmati keindahan Paris Jogja kurang lengkap rasanya apabila belum menaiki motor ATV (All-Terrain Vechile) sambil berkeliling sepanjang garis pantai. Bendi adalah cara lain menikmati Jogja. Bendi adalah kereta kuda beroda dua yang siap mengatar berkeliling sambil menikmati kesegaran angin pantai. Masalah harga sewa sekali lagi semua itu mudah diatur.

Sebenarnya Paris tidak memonopoli keindahan pantai di Jogja. Masih banyak beberapa pantai indah lain di sepanjang garis pantai Jogja yang bisa membuat jantung kita berhenti sesaat demi menyaksikan keindahan alam pantai. Pantai Depok, Siung, Indrayanti, Kukup, Krakal, Baron, Sundak, Samas, Kuwaru, Glagah, Samas, Patehan hingga pantai Wedi Ombo adalah contoh beberapa macam pantai indah di Jogja.

Mau lihat telor-telor sejumlah penyu langka seperti Penyu Hijau, Penyu Sisik, Penyu Blimbing dan Penyu Lekang? Datanglah ke Pantai Samas. Berminat menyusuri pegunungan karst lengkap dengan gua-gua dan sungai bawah tanah? Datanglah ke Pantai Wedi Ombo. Mau ikut upacara Kirab Turumuning Mahesa Suro dan Labuhan Sedekah Laut? Datanglah ke Pantai   Patehan di kecamatan Sanden. Atau mau mencoba budidaya beragam tanaman obat mujarab, seperti buah naga dan bunga roselle? Datanglah ke Pantai Glagah.

Jadi, tentu tak ada alasan untuk tidak mengunjungi pantai di Jogja bukan?

KOTA PENDIDIKAN

UGMAlasan utama aku menginjakkan kaki ke Jogja memang demi pendidikan. Bukan karena pendidikan di kotaku buruk. Bukan pula karena pendidikan di kota lain tak menarik. Pendidikan di Jogja menarik karena sangat beragam. Mau memilih sekolah macam apa saja di Jogja ada. Hendak meneruskan pendidikan di perguruan tinggi jurusan apa saja, relatif lebih mudah dijumpai. Model pendidikan dari level PAUD hingga pascasarjana ada semua di Jogja.

Pantas saja Jogja menjadi kota yang dinamis. Berbagai suku, agama, golongan, hingga merk plat nomor kendaraan bermotor, di Jogja lengkap. Sesekali masuklah ke parkir kampus UGM (Universitas Gadjah Mada) misalnya. Mau cari plat nomor motor dari Sabang sampai Merauke mungkin saja ada.

Banyaknya pemuda pelajar berdomisili di Jogja ternyata sangat dimanfaatkan dengan baik oleh warga Jogja. Berbagai macam tipe indekos (penginapan mahasiswa), dari yang mahal hingga yang gratis ada di Jogja. Gratis?! Ya, benar, gratis. Tak percaya? Jadilah pengurus takmir masjid di Jogja. Selain ribuan manfaat lain, ada satu hal yang sangat menguntungkan bagi para mahasiswa, yaitu kos gratis. Aku berani bicara karena pernah mengalaminya.

Berbincang tentang pendidikan di Jogja, tentu tak terlepas dari adanya UGM. UGM merupakan universitas tertua di Indonesia yang didirikan pada tanggal 19 Desember 1949 dan diresmikan langsung oleh Presiden RI pertama Ir. Soekarno. Konon tanggal itu dipilih untuk memperlihatkan kepada dunia luar bahwa Bangsa Indonesia sanggup bangkit meskipun sudah diserang habis-habisan oleh Belanda tepat satu tahun sebelumnya. Jadi kesimpulannya sejarah menunjukkan bahwa memang kehadiran UGM di Jogja membawa semangat perjuangan bangsa Indonesia saat itu.

Dalam perkembangannya UGM mencatatkan dirinya sebagai universitas terbaik peringkat 7 dalam daftar 100 perguruan tinggi terbaik Asia Tenggara, peringkat pertama di Indonesia dan peringkat 249 di dunia versi Webometrics edisi Januari 2011. Kini UGM ibarat menjadi ikon pendidikan di kota Jogja. Melalui prestasi UGM nama Jogja sering berkibar di kancang nasional hingga internasional.

Tak jauh dari kemegahan kampus UGM, bertebaran kampus-kampus besar lain yang tak kalah prestasinya. Ada 3 perguruan tinggi negeri di Jogja, yaitu UGM, UNY dan UIN Sunan Kalijaga. Selain itu tercatat setidaknya terdapat 18 universitas swasta, 5 institut, 41 sekolah tinggi, 10 politeknik, 48 akademi ditambah 9 lembaga pendidikan profesional.

Bisa dibayangkan berapa banyak mahasiswa yang berkutat di Jogja. Berapa banyak buku kuliah beredar. Kamar kos-kosan untuk para mahasiswa pendatang. Dan semua suasana pendidikan itu turut mewarnai kehidupan sosial masyakarat Jogja. Maka jangan heran kalau siang-siang para tukang becak yang sedang rehat sejenak di becaknya bukannya tertidur lelap. Tetapi mereka sibuk membaca koran dan bahkan ber-online ria dengan laptopnya.

KOTA BATIK

Sandal Batik 04Rinduku terhadap batik Jogja sangat bernuansa romantis. Ini tidak mengada-ada. Kisahnya bermula kami, aku dan tunanganku, dan rombongan mengunjungi syukuran teman menikah. Kami transit di pasar Bering Harjo yang merupakan sentra penjualan batik. Tujuan utama adalah memburu baju batik sarimbit (pasangan). Singkat cerita perburuan batik sarimbit kami berhasil. Sederhana, murah, elegan, dan sangat Jogja. Hingga kini batik sarimbit kami masih tersimpan rapi dan dikenakan hanya untuk acara penting saja.

Tentu semua orang tahu, batik Jogja bukan sekadar baju. Nyatanya di sepanjang jalan Malioboro, beragam pernak-pernik terbuat dari batik. Sendal, sepatu, tas, baju atas bawah, jaket, kaos, dompet, topi dan berbagai benda lain bermotif batik. Di sisi-sisi tertentu kota Jogja juga mudah dijumpai mural batik. Jogja memang pintar mengemas batik, sehingga banyak orang lebih mengenal Jogja sebagai kota batik lebih dari kota-kota lain di Indonesia.

Apa beda batik Jogja dengan batik kota lain? Bagiku batik Jogja bernuansa sederhana. Dan kesederhanaan bagiku adalah motto hidup sekaligus hal penting yang kutanamkan dalam kehidupan keluargaku.

Gara-gara batik, Jogja sering jadi buruan banyak pihak. Banyak yang datang ke Jogja hanya demi batik. Seperti aku pada saat itu. Oleh-oleh saat berkunjung ke Jogja juga biasanya tak jauh-jauh dari cinderamata bermotif batik.

Jogja memang memiliki 1001 kisah. Ibarat magnet yang sangat kuat menarik siapa saja untuk singgah ke Jogja. Sebenarnya isi otak ini masih tersimpan banyak hal yang bisa diceritakan tentang Jogja. Namun kata-kata akan menjadi tidak begitu berarti bila dibandingkan dengan kedatangan langsung di kota Jogja. Jadi, daripada berbanyak-banyak cerita kunjungilah Jogja kapan pun sempatmu. Karena Jogja selalu saja ada cerita kapan pun itu dan untuk siapapun anda.

Keelokan Jogja membuat banyak temanku berlama-lama di sana. Meski masa studi sudah usai, selalu saja ada alasan untuk tinggal di Jogja. Hingga saat ini beberapa teman yang terlanjur jatuh hati dengan Jogja akhirnya lebih memilih hidup di Jogja. Mencari sesuap nasi di Jogja. Mempersunting orang Jogja. Dan bahagia menjadi orang Jogja.

Sedangkan aku, ternyata pulang kampung adalah pilihan terbaik saat itu. Bukan karena sudah tidak kerasan atau jenuh dengan Jogja. Mungkin karena jalan takdir harus menjemput jodoh di kampung halaman. Mungkin juga agar selalu merasakan rindu dengan Jogja. Seperti apa yang kualami saat ini.

Tinggalkan komentar